Breaking News
Penemuan Cyanobacteria "Chonkus" untuk Perangi Perubahan Iklim     Kostum Halloween Terbaik Selebriti Tahun Ini     Kata 'Brat' Dinobatkan Sebagai Kata Terbaik Tahun Ini     Kapal Jerman Bawa Bahan Peledak untuk Militer Israel Berlabuh di Mesir     Politisi Prancis Kecam Perlakuan Israel Terhadap Warga Sipil Palestina    

Israel Serang Iran: Serangan Resmi Pertama Setelah Bertahun-Tahun

Setelah bertahun-tahun terlibat dalam perang bayangan, Israel akhirnya melakukan serangan resmi pertama terhadap Iran. Serangan ini menandai peningkatan ketegangan yang signifikan di Timur Tengah.

Dalam serangan ini, puluhan pesawat tempur Israel terbang sejauh 1.300 kilometer dari pangkalannya di Israel untuk menyerang fasilitas pertahanan udara dan pabrik misil di tiga provinsi Iran. Salah satu lokasi yang diserang berada di pinggiran ibu kota Iran, Teheran.

Serangan ini menunjukkan betapa tinggi tingkat ketegangan di kawasan tersebut. Target yang dipilih oleh Israel, yang merupakan fasilitas militer, dianggap lebih terbatas dibandingkan dengan opsi lainnya. Meskipun Israel bisa saja menyerang lokasi-lokasi yang lebih sensitif seperti situs nuklir atau terminal ekspor minyak Iran, mereka memilih untuk tidak melakukannya.

Keputusan ini mungkin menandakan bahwa Israel mendengarkan tekanan dari sekutunya, Amerika Serikat. Namun, ada spekulasi bahwa keputusan ini juga bisa menjadi persiapan untuk serangan yang lebih besar di masa depan.

Ketegangan antara Israel dan Iran telah berlangsung selama beberapa dekade, dan serangan ini menunjukkan bahwa konflik antara kedua negara masih jauh dari selesai. Banyak pengamat internasional yang mengamati situasi ini dengan cermat, khawatir akan dampak lebih lanjut dari serangan ini terhadap stabilitas kawasan.

Dengan situasi yang semakin mendesak, dunia kini menunggu langkah selanjutnya dari kedua negara. Apakah ini akan menjadi awal dari serangkaian serangan lebih lanjut ataukah kedua belah pihak akan mencari cara untuk meredakan ketegangan? Hanya waktu yang akan menjawab.

Gambar: AFP

library_books Theeconomist