Pada tahun 1843, seorang filsuf bernama Soren Kierkegaard mengamati sebuah kontradiksi aneh dalam perilaku manusia. Ia menyatakan bahwa kita menuntut hak untuk berbicara dengan bebas, namun jarang sekali berani untuk berpikir dengan bebas. Pernyataan ini mengkritik kedalaman budaya yang seringkali membingungkan reaksi dengan refleksi.
Kierkegaard menilai bahwa dalam budaya kita saat ini, ide-ide seringkali dipakai seperti fashion. Mereka dengan cepat diganti ketika tren baru muncul, alih-alih direnungkan dengan serius dalam kesendirian. Menurutnya, pemikiran yang sejati adalah sebuah beban. Pemikiran itu sunyi, tidak glamor, dan membutuhkan pertemuan dengan diri sendiri.
Di zaman modern, Kierkegaard melihat banyak orang ingin terlihat berpikir tanpa merasakan ketidaknyamanan yang datang bersama dengan pemikiran yang mendalam. Mereka berbicara bukan dari kedalaman, melainkan dari kebisingan yang ada di sekitar mereka. Hal ini mencerminkan bahwa banyak orang lebih suka berbicara tanpa benar-benar berpikir terlebih dahulu.
Pemikiran yang sebenarnya dianggap berbahaya. Pemikiran ini bisa membuat seseorang terasing, bertentangan dengan apa yang pernah diyakini, dan menuntut keberanian untuk mengambil risiko menjadi salah. Oleh karena itu, lebih mudah untuk berbicara daripada berpikir, dan jauh lebih mudah untuk menuntut hak berbicara daripada melakukan pekerjaan berpikir itu sendiri.
Kierkegaard mengajak kita untuk merenungkan pentingnya berpikir dengan mendalam sebelum kita berbicara. Dalam dunia yang penuh dengan kebisingan ini, mari kita tidak hanya mengandalkan kata-kata yang keluar dari mulut kita, tetapi juga menghadirkan pemikiran yang serius dan reflektif dalam setiap percakapan yang kita lakukan.
Kierkegaard kebebasan berpikir kebebasan berbicara filosofi pemikiran