Breaking News
    Tidak Ada Level Aman Minum Alkohol untuk Jaga Kesehatan Otak     Labour Partai Akan Suarakan Deklarasi Genosida Israel di Gaza     Ubah Pola Pikir, Ubah Nasib: Kunci Menuju Kehidupan Lebih Baik     Mensesneg Prasetyo Cari Solusi Setelah Kartu Identitas Wartawan Dicabut    

Budaya - Suasana Gedung B Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya sore itu dipenuhi aroma sastra dan budaya. Jihan Putri Zahara, mahasiswi Program Studi Sastra Cina, meluncurkan sekaligus menggelar bedah buku kumpulan cerita pendek karyanya berjudul “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?”.

Buku yang diterbitkan oleh CV. HWC Group ini memuat lima cerita dengan nuansa kuat budaya Tionghoa, masing-masing berjudul “Seperti Kesemek”, “Teh, Titik.”, “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?”, “Dari Debu Jadi Cuan”, dan “Bukan Iklan Drama Tiongkok”.

Acara bedah buku tersebut dihadiri oleh dua dosen pembimbing akademik, Diah Ayu Wulan dan Yusri Fajar, serta menghadirkan Yohanes Padmo Adi N., sastrawan, sebagai pembedah utama. Dalam pemaparannya, Padmo menyampaikan kekagumannya terhadap cara Jihan menulis kisah-kisah slice of life yang berhasil membawa pembaca pada atmosfer kehidupan di negeri Tirai Bambu. Dalam paparannya, Bapak Padmo memberikan apresiasi tinggi terhadap karya Jihan, baik dari sisi visual maupun kedalaman tematik.

“Pada cover atau sampul buku sangat memikat bagi pembaca, menampilkan suasana China pada sore menjelang malam. Ilustrasi bergaya oriental China berupa deretan rumah tradisional di tepi sungai, jembatan melengkung, dan satu lampion besar yang terbang memberikan latar yang eksotis. Ini perpaduan yang pas, Karya ini memiliki kedalaman rasa dan pengamatan yang tajam. Ia tidak hanya menulis cerita, tapi menghidupkan kembali suasana dan nilai-nilai budaya yang berlapis,” ujar Padmo di hadapan para audiens.

Beliau juga menyoroti cerpen berjudul “Teh, Titik.” yang dinilainya berhasil menampilkan perspektif khas dan berani.

“Jihan menaruh dirinya sebagai sudut pandang Chindo. Ini menarik — bagaimana menjadi Chindo, padahal penulis sendiri pribumi. Ia berani mengeksplorasi dari sudut pandang tokoh Aku dan Yohan. Selamat untuk Jihan Putri Zahara, buku ini layak untuk dibaca,” imbuhnya.

Buku setebal 148 halaman tersebut tampil mencolok dengan desain sampul visual bercahaya kombinasi ungu, biru, dan merah menyala. Latar langit twilight yang berpadu dengan pantulan lampion air menghadirkan kesan dramatis dan simbolik, selaras dengan tema utama buku yang menyingkap hubungan antara kepercayaan, budaya, dan cinta.

Pada bagian belakang buku, pembaca disuguhi narasi sinopsis yang puitis dan menggugah:

“Buku yang menampilkan lima cerita dengan rasa yang berbeda... Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih? membawa kita ke tengah festival lentera yang seharusnya berpendar terang, namun menjadi saksi padamnya kepercayaan dan cinta. Secara keseluruhan, buku ini menulusuri simpang antara masa lalu dan masa kini, budaya dan perasaan, serta pahit manisnya menjadi manusia.”

Jihan mengungkapkan bahwa pemilihan judul “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?” didasari oleh makna simbolik warna lentera dalam budaya Tionghoa.

“Cerpen itu cukup merepresentasikan nilai budaya Tiongkok yang saya angkat dalam seluruh cerita. Saya rasa judul itu paling pas untuk menggambarkan semangat buku ini,” ujarnya.

Dalam sesi tanya jawab, salah satu audiens menanyakan tantangan Jihan dalam proses penulisan.

“Tantangan terbesar bagi saya adalah memahami budaya China yang belum familiar. Saya bukan Chindo, jadi risetnya cukup kompleks agar tidak hanya sekilas lewat, tapi benar-benar memahami makna budayanya. Selain itu, saya berusaha membangun karakter tiap tokoh agar tidak terasa seragam,” ungkap Jihan.

Saat ditanya mengenai rencana menulis selanjutnya, Jihan menjawab dengan rendah hati,

“Untuk saat ini saya belum berencana menerbitkan buku lagi, tapi saya memiliki beberapa draft cerita yang mungkin bisa dikembangkan.”

Menanggapi hal itu, Bapak Padmo sempat menanyakan apakah Jihan berencana melanjutkan kariernya sebagai sastrawan atau novelis.

“Sebenarnya sejak kecil saya bercita-cita menjadi penulis. Namun seiring waktu, cita-cita itu sempat hilang. Saat tugas akhir ini memberi kesempatan untuk menulis dan menerbitkan karya, saya merasa ini waktu yang tepat untuk kembali,” jawab Jihan.

Ketika ditanya mengenai sosok inspiratif dalam dunia kepenulisan, Jihan mengaku mengagumi dua penulis besar dunia sastra populer.

“Saya suka karya J.K. Rowling dan Tere Liye,” ujarnya singkat.

Bedah buku yang berlangsung interaktif ini memperoleh apresiasi positif dari para dosen dan mahasiswa. Banyak peserta menilai karya Jihan sebagai wujud keberanian generasi muda dalam mengeksplorasi lintas budaya melalui bahasa dan sastra.

Dengan kehadiran buku “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?”, Jihan Putri Zahara berhasil menorehkan jejak baru dalam dunia sastra— dalam bukunya Jihan menegaskan bahwa sastra masih menjadi ruang pertemuan antara imajinasi, penelitian budaya, dan identitas diri. Hal itu memperlihatkan bahwa kisah-kisah lintas budaya masih memiliki tempat yang hangat di hati pembaca masa kini.(bim)*

library_books Bimo Aryo Mukti