Di tengah perdebatan mengenai transisi energi global, sebuah buku berjudul Ekstraktivisme Transisi Energi hadir dengan pandangan yang kritis. Buku ini menunjukkan bahwa istilah "transisi energi" sebenarnya adalah cara baru untuk menjalankan proyek-proyek ekstraktivisme yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hal ini bisa berujung pada penindasan baik terhadap manusia maupun alam, serta memperkuat kekuasaan elit tertentu.
Buku ini mengajak pembaca untuk melihat realitas politik dan ekonomi, terutama di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam pandangan penulis, transisi energi di Indonesia tidak muncul dari keinginan untuk menjaga lingkungan, tetapi lebih sebagai perluasan dari aktivitas ekstraksi sumber daya. Ini melibatkan berbagai sektor, mulai dari penggalian bahan tambang seperti batubara dan mineral, hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, serta industri pendukung lainnya seperti smelter nikel dan panas bumi.
Lebih jauh, penulis juga menyoroti dampak dari ekstraktivisme transisi energi ini terhadap perempuan. Mereka adalah pihak yang seringkali mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penderitaan akibat proyek-proyek ini. Contohnya, di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur, tanah yang seharusnya menjadi "medan perjuangan kemerdekaan" justru terancam oleh aktivitas ekstraksi. Di sisi lain, di pulau Flores, perempuan yang dikenal sebagai mama-mama di Poco Leok menghadapi tantangan ketika tanah mereka diklaim untuk proyek geothermal. Sementara itu, di Morowali, perempuan berhadapan dengan pencemaran dan kehilangan ruang hidup akibat industrial park nikel dan PLTU di Paiton.
Buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja yang peduli dengan isu lingkungan dan ketidakadilan sosial. Jika kamu tertarik untuk membacanya, buku ini bisa dibeli melalui akun Instagram @kedaijatam atau di Tokopedia Kedai Jatam. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di bio mereka atau dengan mengirimkan pesan langsung.
Ekstraktivisme Transisi Energi Perempuan Lingkungan Indonesia