Jakarta, 17 April 2025 - Calon pemimpin Polri baru-baru ini mengunjungi rumah Presiden Joko Widodo, yang menimbulkan banyak pertanyaan mengenai netralitas institusi kepolisian. Dalam sistem demokrasi, Polri seharusnya bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik. Namun, aksi ini menunjukkan adanya kedekatan antara kepolisian dan kekuasaan politik yang ada.
Tradisi "cari jabatan lewat penguasa" ini telah menjadi hal yang umum dan tampaknya diwariskan ke generasi mendatang. Hal ini bukan hanya menjadi masalah etika, tetapi juga dapat berdampak negatif pada masa depan reformasi Polri, yang seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat.
Seharusnya, calon pemimpin Polri lebih memilih untuk mendekat ke lembaga-lembaga yang relevan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Ombudsman. Kedua lembaga ini berperan penting dalam menjaga hak asasi manusia dan mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian. Namun, kunjungan ke rumah presiden menunjukkan bahwa masih ada pengaruh politik yang kuat dalam institusi ini.
Reformasi Polri telah menjadi topik penting dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang berharap agar Polri dapat lebih profesional dan independen dalam menjalankan tugasnya. Dengan adanya interaksi seperti ini, harapan tersebut bisa menjadi semakin sulit untuk terwujud.
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk terus mendukung gerakan #ReformasiPolri. Dengan dukungan publik, diharapkan Polri dapat kembali pada jalur yang benar, yaitu melayani rakyat dan bukan kepentingan politik tertentu.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita semua memiliki peran dalam mendorong perubahan yang positif. Mari kita bersama-sama memastikan bahwa Polri tetap menjadi institusi yang berfungsi untuk melindungi dan melayani rakyat.
Polri Jokowi reformasi politik netralitas