Pada bulan Desember, pejuang pemberontak di Suriah berhasil mengambil alih kekuasaan, mengakhiri 53 tahun pemerintahan kediktatoran di bawah keluarga Assad. Hal ini menandai perubahan besar dalam sejarah negara tersebut. Namun, meskipun mereka telah berjuang bersama selama bertahun-tahun, para pemimpin pemberontak kini menghadapi tantangan baru dalam membangun perdamaian.
Di hadapan publik, Ahmed al-Sharaa, presiden baru Suriah, berjanji untuk mencegah serangan terhadap kaum Alawit, sect agama yang diikuti oleh Assad dan menjadi basis dukungannya selama ini. Janji ini menunjukkan upaya untuk menjaga stabilitas di negara yang telah lama terpecah belah oleh konflik.
Namun, meski ada harapan untuk perdamaian, jumlah insiden kekerasan di Suriah justru meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ketegangan sektarian, yang selama ini menjadi salah satu penyebab konflik, mulai muncul kembali. Situasi ini membuat banyak orang bertanya-tanya tentang masa depan negara tersebut.
Dengan latar belakang yang beragam dan ideologi yang berbeda-beda di antara para pemimpin pemberontak, tuntutan untuk mencapai kesepakatan damai menjadi semakin kompleks. Mereka yang dulunya bersatu dalam perlawanan terhadap rezim Assad kini harus menemukan cara untuk bekerja sama dalam menciptakan kedamaian yang berkelanjutan.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang mengapa ketegangan sektarian kembali meningkat di Suriah, simak laporan selengkapnya di berbagai sumber berita terpercaya.
Gambar: Getty, Eyevine
Suriah revolusi kekuasaan perdamaian konflik