Pemerintah Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Sekretaris Negara Marco Rubio, baru-baru ini mengumumkan rencana kontroversial untuk menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam proses deportasi mahasiswa internasional. Rencana ini bertujuan untuk mencabut visa mahasiswa yang dianggap "pro-Hamas". Berita ini pertama kali dilaporkan oleh Axios pada 6 Maret dan telah memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan politik di AS.
Proyek yang disebut "Catch and Revoke" ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan tinjauan terhadap akun media sosial puluhan ribu pemegang visa mahasiswa. Langkah ini dianggap sebagai peningkatan drastis dalam pengawasan perilaku dan ucapan warga negara asing oleh pemerintah AS. Rubio menyatakan melalui platform X bahwa negara tersebut memiliki "nol toleransi" terhadap pengunjung asing yang mendukung terorisme dan mengancam bahwa mereka adalah pelanggar hukum AS.
Rencana ini muncul bersamaan dengan pengetatan langkah-langkah lain terhadap gerakan mahasiswa yang mendukung Palestina. Ini termasuk pembatalan hibah sebesar $400 juta untuk Columbia University oleh Presiden Donald Trump dan dimulainya penyelidikan terhadap University of California terkait kekhawatiran tentang antisemitisme.
Reaksi terhadap pengumuman ini bervariasi. Beberapa pihak mengkritik rencana tersebut, khawatir bahwa hal ini dapat mengancam kebebasan berbicara di AS. Di sisi lain, ada juga yang mendukung langkah pemerintah sebagai tindakan yang diperlukan untuk menjaga keamanan nasional.
Sementara itu, banyak yang bertanya-tanya tentang implikasi jangka panjang dari penggunaan AI dalam konteks kebijakan imigrasi. Apakah langkah ini akan mengurangi kebebasan berekspresi? Atau justru akan meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan mahasiswa internasional? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung di udara seiring rencana tersebut mulai dilaksanakan.