Syria, sebuah negara di Timur Tengah, saat ini sedang menghadapi krisis ekonomi yang sangat serius. Jika Amerika Serikat tidak segera menangguhkan sanksi terhadap Syria, negara ini bisa mengalami keruntuhan ekonomi yang lebih parah. Hal ini tentunya akan berpotensi memicu kekerasan dan ekstremisme di kawasan tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, Ahmed al-Sharaa, yang kini menjadi presiden sementara Syria, merupakan pemimpin dari kelompok pemberontak yang terkenal dengan tindakan kekerasannya. Dalam satu dekade terakhir, ia terlibat dalam perencanaan serangan bom bunuh diri. Namun, situasi Syria kini telah berubah, dan al-Sharaa berusaha untuk membangun kembali negaranya yang hancur.
Di tengah ketegangan global dan perang dagang yang sedang berlangsung, banyak yang beranggapan bahwa membantu al-Sharaa adalah langkah yang tidak tepat. Namun, jika AS tetap pada keputusan untuk menerapkan sanksi, dampaknya akan sangat serius bagi rakyat Syria. Mereka mungkin akan menghadapi kondisi ekonomi yang semakin memburuk, dan ini bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan.
Dalam pandangan banyak ahli, mendukung al-Sharaa dalam situasi ini bisa menjadi langkah penting untuk menciptakan stabilitas di wilayah tersebut. Jika Syria mengalami keruntuhan ekonomi, maka tidak hanya rakyatnya yang akan menderita. Negara-negara di sekitarnya juga bisa merasakan dampak buruk dari situasi tersebut.
Saat ini, dunia sedang menyaksikan bagaimana keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin-pemimpin besar dapat memengaruhi stabilitas di kawasan. Donald Trump, sebagai presiden AS, memiliki kesempatan untuk menawarkan harapan bagi masa depan Syria. Dengan menangguhkan sanksi, dia bisa membantu membuka jalan bagi pemulihan ekonomi dan mengurangi potensi terjadinya kekerasan.
Situasi di Syria menjadi pelajaran penting tentang bagaimana kebijakan luar negeri dapat memengaruhi kehidupan jutaan orang. Oleh karena itu, keputusan yang diambil kini sangat krusial untuk masa depan negara tersebut dan juga untuk stabilitas di Timur Tengah.