PADANG HALABAN – Di tengah suasana bahagia bulan Ramadan, masyarakat Padang Halaban justru merasakan kesedihan yang mendalam. Selama beberapa waktu terakhir, sejarah kelam yang pernah mereka alami terancam terulang kembali. Hari ini, alat berat seperti beko dan buldozer mulai merayapi tanah yang mereka huni.
Hal ini menyebabkan rumah-rumah mereka hancur dan kebun-kebun yang selama ini mereka rawat dirampas. Suara tangisan para petani kembali terdengar, mengingatkan kita pada masa-masa sulit yang pernah mereka alami. Petani yang sebelumnya terpaksa meninggalkan tanah mereka kini harus menghadapi ancaman penggusuran sekali lagi.
Sejumlah petani mengungkapkan perasaan mereka. "Luka lama kami belum sembuh, tetapi negara kembali menorehkan luka baru. Kami bertanya, sampai kapan tanah ini akan menjadi ladang air mata?" ujar salah seorang petani dengan penuh harap.
Pada saat yang sama, suara petani sering kali terpinggirkan oleh deru mesin perusahaan yang terus melaju. Penggusuran yang terjadi tidak hanya mengancam tempat tinggal mereka, tetapi juga mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka sebagai petani.
Di Padang Halaban, perampasan tanah sering kali dilakukan dengan kekerasan dan sering kali dilegalkan melalui mekanisme hukum. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Mereka merasa tidak ada keadilan bagi mereka yang hanya ingin hidup di tanah yang telah mereka kelola selama ini.
Para aktivis dan masyarakat mengajak semua orang untuk tidak membiarkan Padang Halaban berjuang sendirian. Mereka menyerukan solidaritas dan dukungan agar suara petani didengar dan perjuangan mereka tidak sia-sia.
"Mari kita bersama-sama melawan ketidakadilan ini," seru mereka. Dengan hashtag #boikotproduksiSinarMas dan #KamiBersamaPetaniPadangHalaban, mereka berharap lebih banyak orang akan bersuara mendukung perjuangan mereka.
Semoga suara petani dan masyarakat Padang Halaban bisa mendatangkan perubahan yang lebih baik dan memberi harapan baru bagi mereka di masa depan.