Dalam dunia ilmu data, saat ini banyak dibicarakan tentang AI Generatif. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengingat kembali para pemikir besar seperti Alan Turing dan John von Neumann, yang merupakan pelopor dalam bidang komputasi. Namun, ada satu tokoh lain yang menawarkan pandangan berbeda, yaitu Ludwig Wittgenstein. Buku-buku karyanya yang berjudul Blue Books dan Brown Books memiliki gaya penulisan yang jelas dan cocok untuk penyelidikan praktis.
Dalam buku-buku ini, Wittgenstein menguraikan teorinya tentang permainan bahasa dengan prosa yang teratur. Ia menolak anggapan bahwa makna adalah sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata, yang harus digali. Menurutnya, pikiran tidak menerjemahkan simbol batin menjadi ekspresi luar, dan kalimat tidak menyandi kedalaman di balik permukaannya. Dengan kata lain, bahasa sama seperti reaksi otot lainnya.
Pada pandangan pertama, ini bisa diartikan bahwa Large Language Models (LLMs) adalah komunikator sejati. Mereka tidak memerlukan konsep internal atau pikiran tersembunyi—mereka hanya menghasilkan respons yang sesuai dengan situasi. Jika makna adalah penggunaan, dan LLMs menggunakan bahasa secara efektif, mengapa tidak mengatakan mereka berkomunikasi? Sebuah mesin, seperti manusia, mungkin bisa memainkan permainan ini.
Tetapi Wittgenstein sendiri membalikkan pandangan ini. Permainan bahasa bukan hanya tentang mencocokkan pola—ia terjalin dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kata "Tinggal" yang diucapkan kepada kekasih adalah permohonan, sementara "Tinggal" yang diucapkan di meja poker adalah strategi. Bahasa menghidupkan makna melalui konteks, sejarah, dan niat manusia—hal-hal yang tidak dimiliki oleh LLM. Sebuah mesin dapat menghasilkan kalimat, tetapi apakah ia mengerti apa artinya memiliki makna?
Lebih jauh, komitmen Wittgenstein terhadap konsistensi membawanya pada pandangan yang mungkin terdengar aneh, seperti pendapatnya tentang musik. Seorang maestro di simfoni dan seorang anak yang mendengarkan Beethoven untuk pertama kali tidak "mendengarkan" dengan cara yang sama—bahkan, ia menyarankan agar kita tidak menggunakan kata yang sama. Hal yang sama juga berlaku dalam membaca. Namun, apakah kita harus membiarkan ketelitian teori mengaburkan kontinuitas yang kita semua pahami secara intuitif?
Kembali kepada sumber-sumber pemikiran tidak menyelesaikan perdebatan, tetapi dapat memperjelasnya. Bagi mereka yang telah bergumul dengan pemikiran Wittgenstein dan merasa kesulitan memahami, Blue dan Brown Books menawarkan jalan yang lebih jelas, meskipun tetap mengarah pada teka-teki yang sama.