Breaking News
Perayaan Tenang di Tepi Barat Setelah Pembebasan Narapidana     Donald Trump Kembali ke Gedung Putih Setelah Delapan Tahun     Perdana Menteri Israel Menunda Gencatan Senjata di Gaza     Gencatan Senjata di Gaza Dimulai Setelah Penundaan     Red Cross Masuki Gaza untuk Pertukaran Tahanan    

Kisah Patah Hati Seorang Pengungsi di Gaza

Kisah Patah Hati Seorang Pengungsi di Gaza

Seorang pengungsi asal Gaza, Huda Skaik, menceritakan pengalamannya tinggal di tenda di Khan Younis, Gaza selatan. Ia merasa jarak dari rumahnya seperti jurang yang tak teratasi, semakin dalam setiap harinya. Pada bulan Februari, rumahnya dibom oleh Israel, yang memaksa keluarganya untuk melarikan diri ke selatan. Kerinduan untuk kembali ke rumah sangat membebani hatinya.

Di tengah jalanan pengungsian, Huda berjuang memahami makna rumah. Bagi Huda, rumah bukan hanya sekedar tempat, tetapi juga menyimpan kenangan dan rasa memiliki yang mendalam. "Rumah adalah tempat yang dibangun dengan cinta, bukan hanya batu-batu," ujarnya.

Pergeseran tempat tinggal bukan hanya tentang geografi. Huda merasa sakit saat memikirkan teman-teman dan kerabatnya yang masih terjebak di Gaza utara. Ketika ia berbicara dengan mereka, mereka menggambarkan situasi yang sangat parah, di mana kelaparan, penyakit, dan kehancuran mengancam kehidupan sehari-hari akibat genosida yang sedang berlangsung.

"Saya menghindari membicarakan makanan, terutama ayam, sayuran, buah, dan biskuit, karena barang-barang tersebut sangat langka akibat blokade Israel. Jika ada, harganya sangat mahal," tambahnya.

Setiap kali berbicara dengan kakek, paman, atau bibi, mereka selalu mengakhiri percakapan dengan harapan, "Kamu akan kembali, inshallah. Kami tidak sabar menunggu hari kita berkumpul kembali."

Selama bertahun-tahun, karena pembatasan Israel, mereka tidak dapat mengunjungi Yerusalem atau kota-kota Palestina lainnya yang terjajah. Kini, mereka bahkan terhalang dari mengunjungi lingkungan mereka yang tercinta di Gaza utara. Mereka yang dipindahkan ke selatan merasa terputus dari masa lalu dan masa depan mereka, karena koridor Netzarim yang dipaksakan oleh Israel semakin memperdalam pemisahan ini.

"Tembok yang membatasi kami bukan hanya fisik, tetapi juga ada batasan tak terlihat dari pendudukan dan pengepungan. Saya terus bertanya-tanya tentang kehidupan di luar Gaza, di balik perbatasan Rafah. Apakah orang-orang di sisi sana berbagi mimpi dan perjuangan kami, ataukah mereka hidup dalam realitas yang tidak tersentuh oleh bayang-bayang yang mengganggu kehidupan sehari-hari kami?"

library_books Middleeasteye