Pada tanggal 3 Januari 2025, insiden tragis kembali terjadi di dunia sepak bola Indonesia. Suporter PSIS Semarang kembali menjadi korban dari tindakan brutal kepolisian saat pertandingan berlangsung. Kejadian ini mengingatkan kita pada tragedi Kanjuruhan yang mengorbankan ratusan nyawa.
Dalam pertandingan tersebut, kepolisian menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan kerumunan suporter. Tindakan ini tidak hanya melanggar aturan FIFA tetapi juga mencederai hak asasi manusia. Banyak suporter yang mengalami luka-luka akibat perlakuan kasar ini.
Para pengamat berpendapat bahwa tindakan ini menunjukkan bahwa kepolisian belum belajar dari kesalahan masa lalu. "Kami sangat prihatin dengan kejadian ini. Seharusnya, kepolisian lebih memahami cara mengelola kerumunan dengan baik dan tidak menggunakan kekerasan," kata seorang pengamat sepak bola.
Sejumlah organisasi dan masyarakat pun mulai bersuara. Mereka menuntut adanya reformasi total dalam kepolisian. "Sudah saatnya kita bersuara bersama. Kita tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi. Tuntutan reformasi kepolisian sangat penting untuk menjaga keselamatan semua suporter," ungkap salah satu aktivis hak asasi manusia.
Reformasi ini diharapkan dapat mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan. Selain itu, masyarakat juga berharap agar kepolisian dapat lebih menghargai hak asasi manusia dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Saat ini, wacana tentang reformasi kepolisian semakin kuat. Banyak masyarakat yang menyuarakan #ReformasiKepolisian, #NoViralNoJustice, dan #LucutiSenjataPolisi di media sosial. Mereka berharap suara mereka dapat didengar oleh pemangku kebijakan.
Dengan kejadian ini, kita semua diingatkan bahwa keselamatan dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia olahraga. Semoga tragedi ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.