Jakarta – Bank Indonesia telah mengumumkan perlonggaran aturan mengenai rasio Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) untuk pinjaman properti dan kendaraan. Kebijakan ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh pembiayaan, terutama di sektor properti dan otomotif.
Pada pinjaman properti, Bank Indonesia mengizinkan rasio LTV/FTV hingga 100% bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu mengenai Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF). Hal ini berarti, masyarakat dapat meminjam hingga 100% dari nilai properti yang ingin dibeli tanpa memandang jenis atau fasilitas properti tersebut. Kebijakan ini akan berlaku sampai Desember 2025 dan diharapkan dapat mendorong perkembangan pasar properti di Indonesia.
Namun, bagi bank yang tidak memenuhi kriteria NPL/NPF tersebut, terdapat batasan LTV/FTV yang berbeda-beda tergantung pada jenis properti dan apakah itu adalah pinjaman pertama atau kedua.
Sementara itu, untuk pinjaman kendaraan, Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa uang muka bisa serendah 0% untuk semua jenis kendaraan baru, dengan syarat tertentu. Langkah ini juga bertujuan untuk mendorong pertumbuhan di sektor otomotif.
Dari analisis sementara di media sosial, terdapat berbagai diskusi mengenai praktik perbankan, termasuk kekhawatiran tentang keamanan data di beberapa bank. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan kebijakan LTV, hal ini mencerminkan keprihatinan umum masyarakat terhadap layanan perbankan di Indonesia, yang mungkin memengaruhi pandangan masyarakat terhadap kebijakan LTV yang diterapkan oleh bank-bank.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan yang mendukung stabilitas keuangan, mendorong sektor-sektor seperti perumahan dan otomotif, serta memastikan bank-bank tetap menjalankan praktik peminjaman yang baik. Perpanjangan kebijakan LTV/FTV yang lebih longgar menunjukkan strategi untuk mendukung pemulihan ekonomi pasca krisis dengan membuat kredit lebih mudah diakses.
Langkah ini mencerminkan upaya Bank Indonesia untuk menyeimbangkan antara mendorong sektor ekonomi melalui akses kredit yang lebih mudah dan menjaga kewaspadaan finansial untuk mencegah pinjaman berlebihan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan di masa depan. Rincian spesifik dari kebijakan ini, seperti batas persentase atau jumlah uang muka, dapat berubah sesuai dengan kondisi ekonomi atau pengumuman kebijakan baru, tetapi hingga saat ini, tren menuju pelonggaran pembatasan demi pemulihan ekonomi sudah terlihat.