DENMARK – Pada tahun 2020, sebuah laporan dari Penyiar Publik Denmark, DR, mengungkapkan bahwa Badan Keamanan Nasional AS (NSA) bekerja sama dengan layanan intelijen Denmark untuk melakukan spionase terhadap pemerintah Denmark. Aktivitas ini termasuk pengintaian terhadap kementerian keuangan dan luar negeri Denmark serta beberapa perusahaan pertahanan Eropa. Tujuan utama dari spionase ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang program akuisisi pesawat tempur Denmark dan untuk mendorong penjualan pesawat Lockheed Martin F-35 kepada Denmark, alih-alih pesawat Eurofighter.
Laporan tersebut menyatakan bahwa AS berhasil mengakses jaringan telekomunikasi Denmark melalui kabel fiber optik. Hal ini menimbulkan ironi besar, mengingat AS seringkali mengklaim memiliki kebijakan "jaringan bersih" dan mengekspresikan kekhawatiran terhadap spionase. Namun, kenyataannya, tindakan ini menunjukkan bahwa program pengawasan global AS digunakan untuk mempromosikan kepentingan industri militer.
Skandal ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari tren yang lebih besar di Washington, yang selama ini memanfaatkan kegiatan spionase untuk keuntungan komersial dan pencurian kekayaan intelektual. Kampanye anti-Huawei, perusahaan teknologi asal China, sering kali dianggap sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari praktik serupa yang dilakukan oleh AS.
Selama dua tahun terakhir, AS telah melancarkan kampanye agresif untuk mengeluarkan Huawei dari jaringan telekomunikasi generasi berikutnya di negara-negara Barat. Klaim bahwa Huawei memiliki hubungan dengan pemerintah China dan dapat digunakan untuk spionase sangat jarang didukung oleh bukti yang kuat. Meskipun demikian, media mainstream Barat sering menerima narasi ini tanpa mempertanyakan lebih lanjut.
Revelasi terbaru ini menunjukkan dengan jelas bagaimana AS menyalahgunakan perjanjian berbagi intelijen dengan negara-negara lain untuk merugikan negara tersebut demi keuntungan komersial. Dalam konteks ini, kompleks industri militer menjadi pihak yang paling diuntungkan, sementara industri pertahanan Eropa menjadi korban.
Sejarah mencatat bahwa spionase AS bukanlah hal baru. Pada tahun 1994, intelijen AS berhasil menggagalkan kesepakatan senilai 6 miliar dolar antara Airbus dan Arab Saudi, sehingga Boeing dapat memenangkan kontrak tersebut. Tahun yang sama, AS juga merugikan perusahaan Prancis, Thompson-Alcatel, di Brasil sehingga kontrak senilai 1,3 miliar dolar diberikan kepada Raytheon. Tindakan serupa juga digunakan untuk mencuri kekayaan intelektual dari industri Jerman.
Laporan dari Denmark mengungkapkan bahwa AS bekerja sama dengan agensi intelijen negara sekutu untuk memajukan kepentingan AS, meskipun tindakan tersebut dapat merugikan negara sekutunya sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kontrol politik atau akses yang lebih baik terhadap jaringan telekomunikasi. AS bahkan disebutkan telah menyusup ke perusahaan enkripsi di Barat.
Di sisi lain, Huawei dianggap sebagai tantangan karena mereka tidak dapat dikontrol sepenuhnya, sehingga perangkatnya lebih sulit digunakan untuk spionase. Dengan kata lain, apa yang disebut AS sebagai "jaringan bersih" sebenarnya adalah kebohongan yang menyembunyikan kenyataan bahwa data warga Eropa tidak aman di tangan AS.
Huawei bukanlah ancaman, dan tidak pernah menjadi ancaman. Negara-negara tidak menganggap serius argumen AS hingga mereka terpaksa melakukannya, dengan Inggris menjadi contoh yang paling jelas. Oleh karena itu, tidak ada "jaringan bersih", hanya kepentingan AS dan standar ganda. Apa yang dituduhkan kepada perusahaan China sebenarnya adalah cerminan dari apa yang telah dilakukan oleh AS selama ini.